Smiley

9:10:00 PM
0
Hang Nadim memang asing, tetapi warna kulit manusia masih familiar bagiku. Aku mencoba mencari wajah-wajah yang terekam dalam memori selama proses interview beberapa waktu yang lalu. Menarik kesimpulan dari sedikit pembicaraan telepon dengan HRD. Secara teoritis Sabtu dan Minggu adalah dua waktu yang paling memungkinkan 6 orang dari Surabaya, rekrut baru untuk TMI akan berangkat.

Dapat! Wajah tirus dengan telinga lebar. Seingatku orang ini yang berhasil membuat gugup peserta psikotes lain karena meminta tambahan lembar soal tes angka yang menyebalkan itu. Ketika kanan kiri dan diriku sendiri baru mencapai setengah dari deretan angka di lembar soal yang mirip surat kabar itu. Orang ini yang mengangkat tangan dan meminta tambahan lembar soal kepada pengawas. Tidak salah lagi, aku hafal dengan senyum seringainya.

"TMI juga, Mas?" Aku langsung menyapa dan to the point bertanya. Mengumumkan pembalasan kekalahan dalam tes itu dengan menjadi teman senasib di Batam ini.
"Oh, Maaf, Ya. Saya sedang perjalanan ke Tanjung Pinang. Sampeyan siapa?" wah, logat percakapannya medok Surabaya. Pasti orang ini manusia yang sama dengan yang berada di ruangan tes sempit waktu itu.
"Bukan dari ITS, ya?" tanyaku meyakinkan sambil mencari-cari barangkali ada logo tugu pahlawan atau semacamnya. Tapi nihil.
"Wah, Saya ini ndak pernah kuliah, Mas." Dia mengelak lebih jauh lagi, sambil terus menggelengkan kepala dan berpamit untuk duduk menunggu sesuai arah yang ditunjuk dengan tangannya. Tampak dibuat sedemikian rupa agar dirasa sopan.

Aku tertinggal sendiri, terpaku dan cukup merasa malu. Ruangan bandara menuju pintu keluar telah terasa sepi dari para penumpang yang tadi berebut segera enyah dari keramaian. Tidak tampak lagi wajah-wajah letih sehabis perjalanan yang terlihat, beberapa saat setelah proses penurunan penumpang. Teringat dengan lembaran nomor telepon yang telah Aku siapkan, segera kurunut untuk mencari nomor telepon TMI. Untungnya pesawat turun tidak terlalu sore, sehingga ada harapan besar kantor masih aktif. Sesuai perkiraan yang disampaikan oleh HRD.

Segera Aku menuju pintu bertuliskan EXIT yang bergerak-gerak dengan sistem sliding. Tetapi entah mengapa ada rasa yang aneh, beberapa pasang mata seolah mengawasiku. Dan kemudian mulai terasa ada bayangan yang menguntit dari belakang. Perasaan was-was tumbuh subur, mengingat ini juga bukan wilayah sendiri. Batam! Untuk memastikan Aku menoleh ke belakang, namun seketika itu dua orang petugas berseragam biru muda menghampiri dengan penuh selidik.

"Maaf, Anda tidak kami ijinkan untuk meninggalkan bandara sebelum proses pemeriksaan keamanan." Apakah Aku sedang bermimpi? Kutampar pipiku dengan perlahan, seolah sedang menepuk nyamuk. Sakit, kenapa drama itu kini berbalik ke arahku?!
"Maksudnya?!" Aku bertanya, tanpa sanggup lagi menutup kedua bibir. Menganga dan seperti dicocok hidung mengikuti mereka meski tanpa jawaban. Salah satu petugas mengambil alih semua bawaan, mengikuti dari belakang.

"Saya mau dibawa kemana?" menggigil juga bibirku hanya untuk memastikan lorong sempit yang diisyaratkan sebagai tempat interogasi. Menerka dengan perasaan takut ujung lorong itu.
Di sebuah ruangan dengan satu set sofa, yang adem, Aku diminta untuk mengambil tempat duduk. "Apa tujuan Anda datang kemari?" Petugas bernama Saefudin Zuhri itu langsung bertanya sambil bertopang tangan di atas meja.
"Saya mengikuti panggilan kerja, Pak. Di perusahaan TMI dan sedang menunggu jemputan dari kantor." jawabku tidak mmapu berpanjang lebar, sudah dicecar dengan pertanyaan lain.
"Mana surat tugas Anda? Keluarkan kartu identitas! Di mana itu TMI? Belum pernah kami dengar ada perusahaan dengan nama itu. Batam itu kecil, kami tahu semua."

Aku hanya bisa mengernyitkan kening, mencerna pernyataan terakhir Bapak Petugas. "Apakah Aku korban penipuan?!" bisikku dalam hati. Dengan segera terpampang bayangan nasib malang di negeri orang yang jauh ini. Pertama kali ke luar pulau Jawa, menyeberang laut, dan menjadi korban sindikat perdagangan manusia.
"Anda punya visa, tidak?!" Petugas itu semakin membuatku panik dan gemetar. "Passport?" Dengan nada bicara yang sudah tidak sabar. Terlalu lama menunggu Aku terpaku oleh imajinasi liar yang menakutkan.

"Visa?"
"Cepat keluarkan! Kami masih ada pekerjaan lain yang banyak." Dengan memegang jenggotnya petugas itu memberi penekanan agar perintahnya segera dituruti. Seraya menambah kuat pandangan matanya memandangku.
Dengan tergagap Aku mengeluarkan kartu tanda penduduk dari dompet. "SIM?!"
"Tidak punya SIM, Pak." Hanya itu kartu identtitas yang Aku punya. Itu pun baru selesai diterbitkan sekitar 2 bulan yang lalu.
"Dokumen Anda cuma ini?! Kalau memang Anda dipanggil kerja, kan ada surat tugas, surat kontrak atau apalah." Semakin tidak sabar nada bicara Bapak yang sangar ini. Memelototkan mata seperti Tuan Takur dalam film India jadul.
"Eh, ... Sebentar, Pak!" Aku ingat surat lamaran yang belum Aku serahkan untuk kelengkapan berkas HRD. Dalam sesi interview tidak sengaja berkas itu terbawa olehku. Kucari di dalam tas wisuda bergambar tugu pahlawan. Warna merah, seandainya saja ada orang yang faham lambang tersebut di sini.
"Ini, Pak." Aku segera menyerahkan, meski sangsi, ragu.

"Oh, ya. Tadi Saya dipesan untuk segera menghubungi kantor begitu tiba di bandara."
"Silahkan. Kan, bisa di sini!" rupanya Bapak yang begitu gagah dalam seragam ini menangkap pikiranku. Tidak mengijinkan Aku untuk beranjak dari ruangan.
"Tapi Saya tidak membawa alat komunikasi, Pak. Ijinkan Saya memakai telepon umum."
"Hah! Jangan alasan Kamu! Ini pakai HP. Atau, ... itu bisa gunakan telepon di pojok ruangan itu." Tampak semakin jelas kerutan di dahi Bapak petugas itu. Mungkin punya alasan yang bertambah untuk mencurigai Aku.

"Baik, Pak. Saya gunakan telepon yang di sana." Kusiapkan nomor telepon perusahaan dalam lembar yang telah kumal itu. Dan segera menekan tuts. Harus menunggu beberapa lama hingga operator telepon berhenti memberi arahan. "Dengan HRD, Mbak." Ah, semoga saja segera tersambung. Sehingga tidak semakin lama menjadi terdakwa seperti ini. Lututku saja tidak berhenti gemetar sedari tadi masuk ruangan.
"Sini, biar Saya yang bicara. Sudah capek Saya menunggu kamu." Gagang telepon itu ditarik dengan sedikit memaksa, ketika suara halo telah terdengar kembali.

"Ya, kami dari petugas keamanan bandara Hang Nadim. Apa benar perusahaan Anda merekrut pegawai bernama Maykl Bogach?!" tidak ada jawaban dari seberang. Mungkin sudah demikian shocked dengan bahasa perkenalan dari Bapak Saefudin yang terhormat.
"Ini koq tidak ada dokumen ketenagakerjaan, Ya. Seperti orang hilang saja di bandara." Deg, jadi Aku disamakan dengan orang hilang?! Aku tidak fokus lagi dengan pembicaraan mereka.Sibuk mencerna tuduhan petugas terhormat itu, orang hilang! Aku mengintip keadaanku dari sebuah kaca yang dapat memantulkan bayangan dari dalam ruangan. Mematutkan diriku dengan para pengungsi perang yang pernah muncul di dalam TV nasional.

celana cingkrang
aslibumiayu.wordpress.com

Cukup lusuh dan terlihat kepayahan, memang. Tetapi menjadikan alasan orang hilang juga keterlaluan, lah. Meski dengan bawaan yang banyak itu. Alasan yang dibuat-buat, hilang sudah respek yang ada di dalam dada, "aneh."
"Ya, Kami patut curiga, lah. Jidatnya hitam begitu. Apalagi yang tidak sedap dipandang dari bagian kakinya itu." Wah, ada apa ini? Mengapa tiba-tiba petugas ini membahas jidatku yang telah kering dari luka ini?! Dan apa yang tidak sedap? Banyak juga orang yang lalu lalang dengan celana 3/4 seperti ini. Meski memang sepatu sandal kesayangan ini menampakkan kaos kaki jika dipadu-padankan dengannya. Tidak mudah memahami sangkaan petugas ini.
"Baik. Lain kali Anda harus melengkapi mereka dengan surat tugas." Telepon itu ditutup tanpa bersalam.

"Sini! Bawa kemari tas yang sedari tadi Kamu tenteng itu."
"Hah?! Bapak serius?!" Aku habis bahasa dengan permintaan yang ini. Perasaan malu langsung mengambil alih, entah bagaimana warna air mukaku saat itu. Dengan ragu-ragu Aku menyerahkan tas bermotif kain sarung itu, masih berharap Bapak Petugas yang baik hati mencabut perintahnya.
"Jangan, Pak!" Aku spontan mencegeah petugas itu untuk membuka isi tas. Tentu saja Aku kalah cepat dengan rasa penasaran Bapak bertangan kekar itu. Dan terbukalah aibku.
"Eh!" Bapak Petugas yang sedari awal berusaha keras menampilkan kewibawaan itu langsung melempar tas ke arahku. Luar biasa terkejut dengan jawaban yang beliau dapat. Dari wajahnya kini juga ada kerutan jijik, tersembunyi dalam kemarahan. Semua telah terlambat, Pak.
      

 

0 Komentar:

Posting Komentar