Smiley

10:12:00 PM
0
Lalai Terminal

Benar-benar merasakan kerasnya hidup itu, saat berada di pelabuhan bongkar muat peti kemas atau curah. Gaji para buruh itu normalnya tidak lebih dari yang aku dapatkan sebagai seorang MT. Yang kerjanya dubel (duduk belajar), selain jalan-jalan melakukan peninjauan. Hehe ... Panas sore tidak pernah ramah, kecuali setelah berlalu panggilan Ashar yang lama. Untuk kondisi kerja yang tidak bersahabat bagi kulit wanita tersebut, mereka dibayar harian, borongan atau tipe cash payment lain. Kerja keras atau dapat ampas. Belum lagi jatah untuk pemberi kerja, atau mandor atau pemilik lahan.

Operator kapal pun tak kalah riweuh dengan peredaran rejeki ini. Harus sering mengalah juga dengan praktek cerdik mereka. Tak ada uang abang ditendang, bisa terlantar jika tidak ada aliran pelicin. Yang kadang juga tidak berimabs sampai kepada buruh paling bawah. Sekedar rokok sudah cukup beruntung. Tiap pelabuhan memang punya ciri khas maasing-masing. Seperti Perak yang sudah banyak mendapat sentuhan manajemen modern. Lebih ringan karena urusan uang insentif menjadi tanggung jawab perusahaan pemilik kapal. Yang orang kaya di balik usaha. Tetapi di beberapa pelabuhan kecil, fakta lapangan seperti itu bisa jadi belum diakui oleh manajemen. Sehingga sering terjadi ketegangan, yang kuat memberi pengaruh.

Bisnis jasa memang tidak mudah dalam bermain harga. Banyak mulut yang harus disuapi, yang terpuruk tentu yang paling bawah. Tenaga kerja bongkar muat atau TKBM, wajar jika mereka berlindung di bawah koperasi. Ibarat semut yang  berebut remah-remah roti. Cobaan di lapangan pelabuhan dalam mencari rejeki datang bertubi-tubi. Hingga mereka lalai karena biasa, yang penting perut kenyang. Koperasi pun tidak sepenuhnya melindungi. Ada kepentingan dari pengaruh orang kuat dalam koperasi. Apalagi jika badan usaha kekeluargaan tersebut benar-benar bersifat nasabiyah. Seolah bekerja pada pemilik lahan saja.

Belum jika ditambah kondisi rumah, yang berlari dengan gaya hidup modern. Terlilit hutang, bahkan terjebak kartu kredit kemudian biasa. Kalau tidak yang lebih parah, terpenjara oleh istri muda. Kiranya benar bahwa Allah  menguji hambaNya. Dia tahu mereka yang mau dan siapa yang tidak mau berserah kepadaNya. Gengsi dunia memang jauh lebih berat ditahan oleh pundak orang-orang yang sedikit ikhlas. Ya, tidak selalu buruk juga apa yang terjadi di pelabuhan. Seperti yang unik di pelabuhan sungai Samarinda. TKBM di sini, terutama untuk urusan peti kemas dapat diwariskan. Sesuai dengan jenis muatan, semacam legalitas skill bongkar muat atau sertifikasi tidak tertulis.

TKBM besi tua misalnya, selamanya akan menunggu muatan scrap. Sesuai dengan adat yang telah turun temurun dijunjung. Biarpun pelaku yang memiliki hak bekerja dengan berantakan sekalipun. Kecuali dia memutuskan untuk menjual haknya, dan beralih ke muatan yang lebih ringan seperti general cargo. Operator kapal juga tidak bisa seenaknya mengganti TKBM yang nakal dan malas, meski mungkin masih ada kesempatan untuk TKBM satu tipe. Lain itu bisa terjadi peperangan kecil, ada kemungkinan berujung nyawa. Menjunjung adat agar selamat, itu menjadi pegangan.

Yang membanggakan adalah, juragan TKBM dalam wadah koperasi bisa dengan mudah dikenal karena bergelar haji. Mereka menjelma menjadi pemilik kekayaan, dengan hak yang terjaga adat. Turun temurun, dan mungkin dapat dijadikan agunan kredit di bank. Ah, mengapa lagi. Aku terpesona kearifan lokal. Cara mereka mengumpulkan dollar, sungguh ampuh. Mereka sukses mengabaikan efektifitas dan efisiensi dalam manajemen. Tugas sebagai Management Trainee begitu mudah terlarut aku mudah lalai. Oleh sebuah kekaguman, butuh dada yang luas untuk mengingat Allah  di sini. Maka aku yakin tidak sanggup lebih lama.

0 Komentar:

Posting Komentar