Smiley

4:50:00 PM
0
Purnama Pengingat
US. Navy Picture


Malam belum beranjak terang, fajar belum pun terlihat. Malam itu, Kang Parjan, demikian dia biasa disebut, terjaga lagi dari tidurnya. Sama seperti malam - malam yang lain. Sama seperti tidur yang sebelumnya. Matanya terbelalak, dalam kekagetan, setiap dia membuka mata seperti itu. Dari tidur yang juga belum lama. Dalam diam, matanya bekerjap. Menerawang ke atap yang menghitam tertutup malam. Dari sudut matanya mulai terhimpun riak berkaca, dan tumpah dari kelopak matanya. Sama seperti hari yang lain, dia akan terus diam sampai air mata gubahan taubat menetes habis dari wajahnya.

"Sungguh, masih lamakah waktuku menyusulmu, Mas Karyo. Aku ingin memelukmu dengan maaf di wajahmu'" lirih terucap dari bibirnya. Kata yang sama yang Aku kabarkan di tiap malam. Kepada rumput yang basah oleh darah. Kepada tanah kering yang tercampur anyir. Kepada tetes embun yang mengaburkan bau amis. Sebuah bahasa dari rasa takut dan sesal.

***

Dilihatnya lagi wajah yang terpukul itu, terpukul oleh akhir yang menyakitkan. Kelegaan yang dirasakan oleh Parjan sirna dalam hitungan detik saja. Dadanya bergerak karena penuh dengan ingin yang dalam, untuk merasakan kembali kebahagiaan itu. Yang entah tiba - tiba berubah menjadi semacam candu.

"Mengapa wajah itu tidak bergerak, mengapa? Mengapa? Mengapa darah itu cepat sekali menjadi dingin, mengapa cepat sekali terbujur kaku." Lubang dalam hatinya seakan hanya hilang setitik saja. "Mengapa pembunuh itu begitu cepat merasakan sakit. Mengapa? Mengapa? Tidak adil, dengan kesakitanku. Tidak sama dengan penderitaanku." Balasan dendam adalah rasa sakit yang lain bagi Kang Parjan. Tidak faham mengapa justru perasaan itu yang muncul, setelah kelegaan yang hanya sekejap.

***

Gambar gelap itu berputar kembali di kedua matanya. Parjan melangkahkan kakinya keluar dari bilik. Melihat sekeliling yang masih pekat. Menuju pintu hendak keluar, seperti yang sudah lalu. Bulan penuh yang menggantung sedikit menentramkan wajahnya. Dalam Parjan menarik nafas, satu - satu mengikuti irama dadanya.

Terlintas dalam benak Parjan tingkah Budi yang mencoba menjaring bulan di dalam kolam. Masih terasa basah tangannya meraih tubuh kecil itu. Teringat senyum Wati yang geli dengan apa yang baru dia mengerti. Budi menangkap bulan untuk hadiah Pak Lik. Akan menaruhnya dalam toples. Mereka ada dua pengingat hidup Parjan, dari hati gundah ketidak sabaran. "Belum waktuku," lirih Parjan meyakinkan hatinya, kembali. "Aku masih memiliki mereka, warisan terbaik dengan hikmah yang kuat."

Parjan bergegas kembali ke rumah, menengok air dalam gentong padasan. Biasanya Budi akan bertanya tentang isinya ketika fajar mulai jelas. "Penuh, hati - hati nanti kena baju. Jadi basah semua," begitu jawaban yang selalu Parjan ingat. Kemudian Parjan menurunkan kayu bakar dari atas pawonan. Musim hujan begini sungguh susah mencari kayu bakar kering. Ah, mengingati Wati dan Budi membuat semangat Parjan semakin terang. Seterang suara Kang Shomad yang sedikit parau dari langgar. Sebentar lagi akan bangun Wati, kemudian Budi akan mulai berjalan dalam kantuknya menuju padasan. Dan tidak terlihat membuka mata sampai kemudian terdengar, "Pak Lik, padasan penuh?" Parjan selalu tersenyum sejak subuh, karena dua anak yang dimuliakan itu. 

0 Komentar:

Posting Komentar