Smiley

6:00:00 AM
0
Allah kadang tidak 'mengijinkan' kita untuk menemuiNya. Hari kelima Ramadhan tahun ini, Saya tidak diperkenankan Allah menunaikan Ashar. Saya teringat ketika sedang Shalat Maghrib, kemudian segera Shalat Ashar sekembali dari Mushola. Saya berpikir, apakah ini jawaban Allah atas was-was yang sempat hinggap malam yang lalu.

Pernahkan pembaca merasa hasad dengan para muallaf? Atas semua dosa-dosa di masa lalunya yang membuat kita risih, toh Allah memberi mereka hidayah. Sedangkan kita yang sedari lahir telah muslim, hanya begini-begini saja imannya. Berbeda dengan mereka yang 'baru', mampu menjadi dai-daiyah besar. Namun kita tetap muslim yang awam terhadap ilmu. Bagaimanakah Allah menjalankan takdirNya?

Semangkok Mie Ayam
qraved.com
Dan tentang Hindun binti 'Uthbah RA, yang digelari aakilatul akbaad karena merobek perut Hamzah RA yang telah gugur dan mengunyah jantungnya. Yang Rasulullah SAW selalu merasa sedih ketika bertemu dengannya setelah masuk Islam, pedih mengenang jasad Sang Paman di lereng Uhud. Namun, di akhir kehidupannya Hindun dapat menghibur diri. Dari kejahatan di luar akal sehat yang telah dilakukan karena dendam itu. Dengan sering berkata, "Aku pernah bermimpi berdiri di bawah matahari dan di dekatku ada tempat berteduh namun Aku tidak bisa berlindung di bawahnya. Ketika Aku telah masuk Islam, Aku bermimpi seolah-olah Aku telah masuk dalam lindungannya. Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita kepada Islam."

Anda yang pecinta film, tentu tidak asing dengan lakon Sang Pencerah. Film yang menuai pujian dalam pelakonan tokoh Islam pendiri Muhammadiyah. Secara tidak sadar kita pun beranggapan baiknya keislaman Sang Pemeran, karena akting yang ada dalam film tersebut. Kita lupa, bahwa film adalah sesuatu yang direkam, dari sandiwara pemerannya. Namun, justru cepat ribut ketika pemeran Muhammad Darwis itu murtad. Pernahkah terbesit, jika kita yang dipilih Allah darinya hidayah Islam dicabut? Setelah usaha kita dalam setiap ubudiah yang juga tidak mudah, yang telah terbiasakan sedari kecil. Sungguh, kita ini wajib berseru, ''inilah qadarullah." Meski tidak mudah memahami ibrah dari kisah Hindun binti 'Uthbah dan Lukman Sardi yang bertolak belakang.

---

Siang itu, Saya yang Alhamdulillah sedang diberkahi flu, begitu nyenyak tidur sepulang dari Masjid. Hingga tidak terasa adzan Ashar terdengar pelan dalam keterjagaan yang sangat lemah. Saya baru benar-benar bangun ketika waktu menunjukkan pukul 16:35. Saya ber'azzam untuk segera mandi dan Shalat karena masih harus bersiap untuk ifthar. Masih sangat sadar bahwa waktu Ashar telah sempit.

Pada adegan di dalam kamar kecil, kiranya Allah menjadikan lupa atas semua 'azzam. Setelah berganti, Saya justru langsung keluar rumah untuk bersiap ifthar menurutkan kebiasaan jasadiyah. Bahwa setelah Shalat Ashar, dan mandi sore, kegiatan akan berlanjut untuk menunggu Maghrib. Tidak ada kesadaran dalam benak Saya, hanya mengikuti kelaziman.

Allah kiranya sedang memberi jawaban. Katakanlah jika Saya tidak kembali ke rumah lengkap dengan nyawa, sungguh akan kehilangan satu shalat. Bahkan harus dishalatkan. Catatan buruk, mendapat ganti Shalatul Wustha dengan Shalatul Janazah. Saya sedang mendapatkan rahmat untuk ''masih'' menunaikannya! Takdir Allah. Bukankah kadang kita sendiri yang menunda untuk Shalat, karena sibuk dengan pekerjaan di kantor. Lupa!!!

Seandainya hidayah Allah itu nyata seperti semangkok mie Ayam yang saya beli untuk ifthar sore itu, tentu kita tidak akan pernah berkata, "jika Allah menghendaki tentu mie Ayam itu akan masuk ke dalam perut. Tangan Saya masih sibuk dengan ketikan." Seringnya, kita berhenti mengingat Allah segera menikmati mie Ayam yang membangkitkan selera itu.

Padahal Allah selalu mengulang kisah dua ciptaanNya yang telah memandang berbeda terhadap hidayah. Azazil mengatakan, "Karena Engkau telah menghukum Saya tersesat, Saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus." Berputus asa terhadap rahmat Allah. Sedang Adam AS tidak berputus asa dan menangis selama 300 tahun untuk bertaubat kepada Allah. "Ya Rabbana, Kami telah menganiaya diri Kami sendiri, " mengaku tersalah kepada Allah.

Apa hak kita untuk bertanya kepada Allah, tentang keadilan takdirNya. Bahkan seharusnya kita sibuk untuk bersyukur dengan rahmat Islam yang tidak lepas. Yang selalu memeluk kita seperti saat di alam rahim. Mengapa kita tidak menguatkan pelukan dan abai dengan Iman yang sering tergerus. Seandainya hidayah itu nyata seperti pelukan Ibu, kita ingin memeluknya hingga puas. Jika saja hidayah itu tersentuh, niscaya kuat pelukan kita hingga nyawa kita mengalir keluar dari tubuh. Seperti air yang keluar dari mulut kendi, karena ridha kepada janji Allah.

Apakah karena hidayah itu tersembunyi dalam takdir, kemudian kita menjadi malas mendekapnya?! Sampai kita rela menawar kepada Malaikatul Maut, emas sepenuh bumi. "Berilah Aku waktu sebentar, maka Aku akan berbuat baik untuk akhiratku." Lalu mengapa dulu kita senang berkata, "jika Allah menghendaki tentu kita akan diberiNya petunjuk." Banyak dari kita memilih mengatakan, "Ya Rabbana, keluarkanlah kami dari neraka. Dan kembalikanlah kami ke dunia, maka jika kami kembali juga sungguh kami adalah orang yang zalim."

0 Komentar:

Posting Komentar