Smiley

1:00:00 PM
0
Buah-buah ini—kasih yang rela berkorban, hasrat untuk menyucikan nama Yehuwa, pemberitaan Kerajaan Allah, keterpisahan dari dunia, dan iman akan Alkitab—semuanya mencirikan penganut ibadat sejati. Buah-buah tersebut juga membuat penganut ibadat sejati berbeda dari agama-agama lain. Seorang wanita yang beberapa kali menikmati percakapan dengan Saksi-Saksi Yehuwa menarik kesimpulan sendiri dan berkata, ”Saya mengenal banyak agama, dan semuanya sama saja. Kalianlah satu-satunya yang benar-benar berbeda dengan yang lainnya.” Demikian sebuah petikan tegas dari www.wol.jw.org dalam publikasi Bahasa Indonesia (2000 - 2015) 


Ulil Sama Agama
www.nahimunkar.com
Petikan tersebut dapat dilawankan dengan sangat nyata terhadap pendapat Ulil Abshar Abdalla. Gatra 21 Desember 2002, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” Meskipun dalam hal pembahasan yang berbeda, tentang sekte Saksi Yehuwa dan Islam. Tetapi dasar yang ada adalah bahwa dua kutub yang berbeda tentang ber-agama, mutlak benar atau sama benar.

Dalam www.muslim.or.id disebutkan, "Trend pemikiran yang dibangun diatas dasar kebebasan berkeyakinan ini telah melabrak salah satu pilar terpenting dalam kehidupan beragama; yaitu tentang klaim kebenaran (truth claim) pada setiap agama yang diyakini pemeluknya. Hakikatnya, pluralisme agama adalah agama baru yang mencoba meruntuhkan nilai-nilai fundamental agama-agama, termasuk Islam."

Sedang seorang tokoh yang berafiliasi dengan JIL, Abdul Moqsith Ghazali, pada kuliah Pluralisme (8 Februari 2013) memberikan definisi anyar, “Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama. Karena jika seluruh agama sama, berarti agama itu satu. Jika agama hanya satu, artinya tidak plural.” Setelah fatwa MUI 2005 tentang kesesatan faham sepilis. Meskipun ralat ini belum sampai dalam penelusuran ke akar pemahamannya. Karena retorika ini mudah saja, namun tanpa keyakinan mutlaknya Islam tinggal sebuah pepesan kosong tanpa ikan.

Sahabat Ibn Abbas RA pernah bertanya tentang saudara ayahnya, Abdu Manaf, apakah tidak ada syafaat yang bermanfaat bagi Sang Pembela Nabi tersebut. "Apakah Engkau tidak dapat menolong pamanmu? Sesungguhnya Ia melindungimu dan marah karenamu." Ayah Si Thalib itu mendapat tempat tersendiri dalam hati para sahabat RA, karena perjuangan beliau dalam menemani Nabi ﷺ.  
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟

Abu Thalib adalah pewaris Abdul Muthalib dalam menjaga Nabi ﷺ mengalahkan Al Harits yang anak pertama. Beliaulah yang menambahkan Muhammad  dalam jajaran Thalib, Uqail, Ja'far, Ali, Fakhitah, dan Jamanah menjadi tujuh bersaudara. Yang perlakuannya bahkan mengalahkan yang lain, karena melihat dekatnya hati Muhammad  kepada beliau. Dikisahkan, Muhammad ﷺ kecil menangis tanpa henti ketika Abu Thalib hendak pergi berdagang ke Syam.

Tarikh mencatat, sekitar 42 tahun qamari beliau bersama Nabi  sejak umur 8 tahun. Sehingga pantas jika kita beri gelar beliau sebgai Ayah, sahabat, guru bagi Nabi ﷺ. Beliau menjadi kerabat paling dekat yang gigih berjuang bersama Nabi  dalam menghalau gangguan orang-orang musyrik Quraisy. Tetapi pada usia yang ke 80 tahun qamari, ketika telah terbaring lemah dalam sakitnya, Abu Thalib lebih dekat kepada Abu Jahl dalam iman. Bahkan kalimat tahlil pun tidak sanggup beliau lafalkan.

Sahabat Ibn Abbas RA meriwayatkan bahwa, manusia yang paling ringan siksanya di dalam neraka adalah seorang yang mengenakan sandal dari neraka. Sedang panas siksanya itu mendidihkan apa yang ada dalam kepalanya, padahal manusia dikembalikan kepada jasad Nabi Adam AS. Orang itulah Abu Thalib, paman kesayangan Nabi ﷺ yang tidak pernah memegang tauhid. Jika semua agama sama, tentu beliau yang teguh memeluk agama nenek moyang Quraisy akan mendapat tempat yang mulia di yaumil akhir.

Tidak benar, bahwa semua agama sama benar. Juga tidak benar, agama selain Islam benar saat ini. Dan juga tidak benar Islam tidak mutlak benar. Karena telah jelas, yang haq dan yang bathil. Hanya ada dua pilihan, Islam atau mencari Allah yang lain. Sekarang hingga nanti hari kiamat tiba. Jika semua agama sama, tidak diwajibkan bagi kita mengulang-ulang minimal 17 kali dalam sehari, ''ihdina, jalan yang lurus." Yang khusus diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.

Agama itu ibarat nyawa. Jika hari ini kita masih berbincang, tidak perlu ditanya nyawa masih disana atau tidak. Jika kita berbuat buruk, bukan karena nyawa yang buruk. Tapi karena kita manusia biasa. Pun jika kita baik, kita hanya mengikuti fitrah manusia yang baik. Allahu a'lam.

 

0 Komentar:

Posting Komentar