Smiley

5:30:00 AM
0
Petok - Wonorejo, Kediri - Blitar, adalah jalan berliku menanjak sekira 100-an kilometer. Meski jalan penuh tantangan lebih dari sepertiga jalan yang dilalui, masihlah patut diperjuangkan. Karena hijaunya alam yang terlewati, dapat menjadi pemicu keluarnya hormon oksitosin. Menjelma bahagia dan meluberkan keluar stress yang terpendam. Dulu pernah berangkat sehabis subuh dengan motor, alhasil beku hati sampai di tempat. Padahal sudah pakai jaket tebal dan pelindung dada.

Surga yang Tersembunyi
www.liriklaguanak.com
Mudik tahunan, karena memang tidak mudah meluangkan waktu untuk berkemudi sampai kesana. Langsung terbayang ketika merasakan dinginnya malam di lereng gunung kelud itu. Untuk mengambil wudhu shalat maghrib saja berat sekali. Air serasa es yang siap dicampur ke dalam segelas teh manis, yang kutebak akan sangat segar bila diminum di siang hari. Lain jika di Surabaya, kapan pun mengambil air justru begitu segar terasa di muka. Dari panasnya Surabaya yang memang sudah dikenal.

Jadi terlintas kembali musabab, mengapa tidak pernah terbayang untuk menghabiskan Ramadhan di rumah nenek. Pernah, dahulu saat masih SMP tinggal sebulan penuh. Kalau sekarang, sepertinya tidak ada dalam daftar rencana. Bahkan untuk liburan seminggu pun tidak menjadi pilihan menggiurkan. Ah, jangan saja mengharap lailatul qadar mungkin penuh qiyamul lail sudah sangat baik. Apalagi untuk bangun sahur mungkin akan sangat malas, merasakan nasi dingin yang telah keluar dari tanakan nasi. Semua terasa dingin, kecuali cabe yang terasa panas di dalam mulut. Hahaha ...

Mudah saja untuk dirunut dari sebulan lalu, tarawih yang hanya bolong sekali saja. Banyak teman sejawat saat i'tikaf sepuluh malam terakhir, sehingga tidak ada sedikitpun rasa malas untuk berangkat meski Surabaya juga dingin setelah jam dua belas malam. Dalam seumur hidup, Aku baru kali ini ikut ramainya i'tikaf Ramadhan tanpa ada kesulitan yang berarti. Namun begitu lebaran di pelosok desa ini, untuk sekedar witir malam saja tidak berani karena terbayang dingin air tengah malam. Sementara bangun malam sudah begitu mudah di kerjakan di kota - kota yang tetap ramai hingga fajar, banyak kawan.

Mengenang masa kecil dahulu ketika belum banyak efek teknologi masuk ke desa, ramai surau oleh tua-muda yang menghidupkan malam. Masa kakek masih hidup sekaligus beliau juga menjadi penghidup surau. Terkenang ramainya tarawih di masa kecil, hingga memukul bedug saja bagi kami yang masih kanak - kanak harus berebut. Bahagianya sampai terasa hingga benak paling dalam dan tetap ada dalam memori. Tahun 90-an tentu semua jauh terasa lebih sulit dari jaman sekarang, dingin malam jauh lebih pekat. Gelap jalan jauh lebih rawan apatah lagi di musim hujan. Namun, dahulu surau itu tetap lebih sering ramai.

Ramai orang yang mendekat kepadaNya, kini berpindah ke kota. Surau kecil yang hampir ada di tiap rukun tetangga itu jauh lebih ramai. Sedang di desa kecil yang serba sulit itu, tidak banyak surau yang masih hidup. Lebih banyak debu yang melapisi, pertanda keringnya aktivitas. Jamaah rawatib saja sudah cukup baik jika diramaikan oleh empat sekawan. Lebih sering hanya imam dan muadzin yang hadir berjamaah.

Desa kini seperti surga yang ditinggalkan, tersembunyi dalam kesepian. Ketika lebaran begini tidak banyak juga yang meramaikan jalan-jalan atau surau-surau. Silaturahmi apalagi anjangsana. Putra daerah itu cukup singgah dan menikmati dingin di rumah masing-masing. Jika di kota telah terbiasa sibuk, tidak ada yang dapat dikerjakan di kampung. Hanya tempat bersenang-senang sebelum kembali bekerja lagi, ke kota. Tidak hanya surau yang terasa mati, tetapi juga desa-desa ini. Sudah sejak lama, ketika semua semakin sulit. Entah bagian mana yang menjadi sukar.

Kiranya desa tidak cocok menjadi bagian gaya hidup yang serba instan itu. Saat ini, mencari ilmu agama pun tak harus capek datang kajian. Cukup buka sambungan internet. Berjamaah pun kini lebih mudah. Tanpa harus banyak menghabiskan waktu di surau-surau, gotong-royong mengurus aktivitas. Semua menjadi mudah, tidak seperti di desa yang serba swasembada. Jadilah, surga-surga itu terbengkalai. Ditinggalkan peminatnya yang mencari kemudahan.

Sungguh besar perjuangan mereka yang masih tetap tinggal. Menghidupkan desa mereka yang kian sunyi, dengan suara adzan yang terpendar dingin. Ketika pagi masih buta, air masih beku dan kehangatan jauh dari angan. Hanya empat sekawan yang lebar jaraknya dalam shaf, ruku' dan sujud dalam ancaman hadast kecil. Udara dingin terkadang usil menarik gas dalam perut untuk keluar, mengacaukan barisan shaf yang sudah pendek itu. Ketika di kota-kota jamaah surau semakin ramai, itu bukan karena bertambahnya iman. Keadaanlah yang semakin mudah, ketika mereka kembali dan sadar betapa sulitnya menghidupkan surau di desa.

Sungguh beruntung orang yang kembali ke desa kemudian mereka merasa kaya. Kaya akan waktu dan kesempatan, untuk mendekat kepadaNya. Sadar ketika nikmat ini dikurangi, dengan mudahnya mereka kembali bermalas-malasan. Sungguh, mereka beruntung telah menemukan surga yang tersembunyi. Di desa sepi yang dahulu pernah memiliki andil membesarkannya. Allahu a'lam.

0 Komentar:

Posting Komentar