Smiley

11:17:00 AM
0
Kisah Peter Pan yang terkenal itu, bisa jadi menjadi sebuah kalimat penuh filosofi bagi kita. Manusia memang selalu ingin hidup tanpa beban. Dan berharap mudah memenuhi keinginannya, seperti anak kecil yan tidak berhenti merengek kepada mama-papanya. Tanggung jawab bagi manusia adalah pelajaran sepanjang hidup yang tidak mudah. Kita sering mengelak dari semua beban itu, dan memilih mengejar keinginan yang terlintas dalam hidup kita.

Balita Diktator
lkc.or.id
#Beemoslem dan jujur kita ini lebih senang saat di bawah. Ketika menjadi politikus yang cerdas, kita sering mengkritik habis-habisan seorang Presiden agar terlihat capable untuk menggantikannya. Namun, ketika baru saja setahu n menjabat dengan mudah kita akan menemukan cara agar orang lain tidak mengkritik kita. Karena kita tahu arah kritik itu, seperti saat kita menggunakannya sebagai senjata politik. Maka tidak heran, jika seorang pejabat baru sangat mudah menelurkan kebijakan yang antitesa terhadap perjuangannya. Sebelum mereka menjabat dan berkuasa.

Seperti Peter, kita ini memang cenderung lebih senang bermain. Menuruti hipotalamus dalam otak kita yang rajin mengirim gelombang keinginan. Tidak peduli dengan apa yang pernah kita perjuangkan. Ironi manusia yang berjuang demi kebebasan, namun dalam hidup mereka tidak pernah bebas dari intervensi hipotalamus. Prof. Dr. Ir. Abdullah Sahab, M.Sc., dalam sebuah kajian yang cerdas tentang cara kerja syaithan tertawa dengan tingkah kita yang ini. Bagaimana tidak, kita yang sebesar ini dikendalikan oleh semua kerja sensory bagian kecil otak. Dialah pemilik tunggal keseluruhan jasad kita.

Justru, manusia menjadi merdeka ketika sedang berpuasa. Dia tahu sepiring nasi padang yang lengkap dengan tempe goreng, otak, sayur daun ketela, sambel hijau, dan kerupuk tidak mengandung unsur haram sama sekali. Dan hipotalamus berkali-kali mengirim sinyal, dan mengingatkan betapa nikmat daftar olahan karbonal tersebut saat siang hari, waktu istirahat. Maka dengan hebat kita mengatakan, "tidak." Kita berhenti menurutinya, bukan. Merdeka!

Hipotalamus ini memang seperti seorang balita, diktator yang semakin menjadi ketika melihat orang tuanya panik. Terbias dalam wajahnya malu karena suara tangis anaknya di depan umum. Memahami gejolak dalam batin seorang Bunda, semakin garang tangisan mereka. Tidak peduli dengan kata malu, atau moralitas. Namanya juga anak kecil, tidak ada yang akan menyalahkannya. Tetapi mereka pasti akan 'memalukan' siapapun yang menggendongnya. Ah, kita yang menjadi raja atau balita 'perengek' itu yang menjadi tuan kita. Manusia, hanya punya pilihan dari dua hal tersebut. Allahu a'lam.


0 Komentar:

Posting Komentar