Smiley

8:08:00 AM
0
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sudah itu, untuk memperbaikinya butuh waktu yang sama banyak atau lebih. Aturan untuk berjamaan Subuh adalah sama bagi seluruh anggota keluarga. Dengan tingkat sangsi yang disesuaikan. Dan sungguh telah menjadi penyesalan yang tidak pernah habis, mengapa justru Aku kebal sangsi. Berada di luar keluarga begitu lama, meski secara de facto masih di sana.

Awalnya pedih juga mata dan buntu juga hidung, ketika mendapat sangsi untuk mengorek tempe tebal dari tempat fermentasi alaminya. Sudah tidak ada yang tampak menyenangkan, baunya tidak akan hilang selama sehari. Saluran air itu secara alami membantu proses fermentasi setiap bijian yang ikut terbawa. Maklum, begitu banyak anggota keluarga yang kadang sisa makanan di piring terlalu banyak. Ya, kalaupun cuma satu sendok jika dikalikan dengan pengali yang puluhan, tiga kali sehari.

Surabaya yang memang daerah panas tidak menyisakan sudut saluran air sebagai tempat yang dingin. Justru semakin hangat di sana, tempat jamur untuk hidup yang ideal. Maka, sisa rizhoma itu bisa sangat mungkin menjadi pemantik untuk terbentuknya kerak-kerak jamur seperti tempe. Tebal dan menempel pada pipa-pipa saluran. Dan inilah yang harus dibersihkan oleh dekil-dekil yang melewatkan jamaah subuhnya.

Soal kesetiakawanan kadang kalah dengan lupa. Lupa dimana harus membangunkan kawan sekamar, kawan sekandung. Apalagi ditambah panasnya surabaya yang sering menjadi alasan untuk susah tidur. Karena pada saat seperti itu, berburu nyamuk adalah hal menyenangkan yang melenakan. Bisa-bisa baru tengah malam tidur nyenyak, dan sudah berpindah dari koordinat awal.

Padahal sekitar 5 menit sebelum adzan ada pukulan sajadah yang sama rata sama kena. Dan bayangan bau sedap tempe dan lekatnya juga kuat dalam ingatan. Namun, ada saja waktu-waktu tertentu sekian orang dari kami terpangil untuk menangani lapisan kerak tempe itu. Seolah saluran air itu yang memanggil kami, dengan paksa. dan harus ada yang menjadi korban, kejam. Hahaha ...

Mengenang kembali masa itu, tidak mudah untuk tidak tertawa. Memang tidak bertahan lama aturan itu berlaku, karena kemudian sangsinya berubah menjadi lebih modern. Dengan memotong uang saku yang hanya 25 ribu per bulan (tingkat SMA). Yang ini memang lebih manusiawi, tapi kami benci. Ah, bisa jadi sebulan kami harus puasa masuk kantin sekolah karenanya. Belum lagi bagi mereka yang telah tertawan oleh rokok. Kami dipaksa berjamaah subuh dengan itu semua.

Dan sekarang, mungkin tidak semua dari kami yang sadar. Bagaimana berjamaah subuh bagi lelaki ini harus ditempuh meski merangkak. Hanya sebagian saja dari kami yang sudah terjun ke dalam masyarakat kemudian memahaminya. Namun, ada saja dari kami yang kadang mendapat mimpi aneh, seperti bermimpi disambit Bapak ketika subuh masih molor di kasur. Masih kuat juga kenangan itu menjaga kami di tengah panasnya menggenggam bara di tangan.

Seandainya dulu, tidak mendapat dispensasi itu, mungkin mudah bagiku untuk langgeng berjamaah subuh. Tidak perlu membiasakannya bertahun-tahun seperti ini. Bahkan setelah usaha yang lama itu, masih saja sekali atau dua kali terlewat adzan. Atau yang lebih tragis bablas sampai matahari terbit. Ah, waktu tidak bisa diulang. Walaupun rasanya ingin mengulang, biarpun harus merasakan bau tempe yang harus dilawan dengan minyak wangi. Agar sampai kampus tidak membawa bau itu. Seandainya. #Beemoslem

Frase Subuh
kundurnews.com

0 Komentar:

Posting Komentar