Smiley

4:56:00 PM
2
Dalam sebuah percakapan melalui sebuah telepon genggam, sekitar masa 2010, antara manager Saya dengan anaknya. Boleh ditarik kesimpulan saja, ya. Saya tidak hafal matannya, hehe. "Cepat pulang, Pa," entah Si Adik atau Mamaknya yang kangen. Tetapi begitulah seorang Ayah yang selalu dirindukan, karena seharian berada di kompeni orang. Apalagi perusahaan manufaktur yang selalu ketat dalam hal efisiensi kerja, namun memeras waktu. Kalau bisa beroperasi 24 jam, harus dilakukan. Manusia harus jadi mesin dan mesin harus jadi manusia. Fleksibilitas adalah hukum yang berlaku.

Dahulu, Saya berpikir kita tidak mungkin bahagia di bidang manufaktur. Kerja keras bagai hujan yang terus mencurah tanpa henti. Namun, balansi tubuh sangat sulit diperoleh. Sehingga kompensasi gaji dan segala macamnya seolah hanya mengalir dari debet ke kredit. Tetapi ternyata, begitulah dunia. Tidak melulu di industri manufaktur, bahkan jika Anda seorang penulis pun akan merasakan hecticnya kegiatan. Yang tidak pernah berubah adalah, bahwa kita dibayar karena masalah yang kita selesaikan. Tanpa masalah, Anda terancam menganggur.

Dari siniliah kemudian ada banyak masalah dalam kejiwaan manusia. Passion untuk bekerja atau untuk mendapatkan uang sama-sama mempunyai efek buruk. Karena pada dasar kita hidup di dunia ini untuk berjuang, lelah-letih setiap hari. Sepanjang hidup kita, mungkin tidak demikian dengan orang dengan aset melimpah. Ah, itu sekedar asumsi kita yang berada pada level rendah kemerdekaan finansial. Dengan segera orang kaya itu akan jatuh ke dalam passion untuk menikmati hidup. Tak heran jika di negeri tirai bambu pernah ada orang kaya yang berpesta dengan membakar uang.

Kebahagiaan itu sangat berhubungan dengan hormon tertentu dalam tubuh dan sekresinya. Dikendalikan oleh sistem sentral bernama hipotalamus. Tetapi ada konsep yang lebih tinggi dari sekerdar the Pursuit of Happyness, yaitu Eudaimonia. Konsep ini kemudian melahirkan cabang tersendiri dalam memahami psikologi manusia. Dan didefinisikan dalam beberapa dimensi, dikenal dengan sebutan psychological well-being (baca: psychological well-being).

Nah, kembali kepada tajuk harus siap bahagia, akan terdengar kontras dengan yang sering terlontar dari keseharian kita. Seperti misalnya, "Saya cari jodoh yang siap hidup susah." Padahal, jika menilik pemaparan tentang hakikat hidup di atas, keseharian kita itu lebih didominasi oleh masalah dan kesusahan. Jika kita mempersiapkan diri kita untuk hidup susah, mungkin kita sedang berencana untuk menayangkan kisah hidup kita di dalam sinetron. Dimana orang-orang yang baik akan selalu terlibat drama, dan bahagia di akhir cerita. Kasihan sekali, ya. Hanya merasakan bahagia di akhir cerita, padahal akhir cerita kita di dunia adalah kematian.

Mengapa kita tidak balik menghadapi hidup ini, dengan mengatakan, "kita harus siap bahagia." Apapun yang terjadi, kebahagiaan harus tetap ada. Bukankah bahagia tersembunyi didalam hati? Dan hati tidak pernah terpenjara oleh keadaan dan waktu. Sebenarnya ia bebas. Namun manusia tidak pernah memberikan prosi yang benar bagi hati untuk bahagia. Porsi besar itu justru ia berikan kepada hipotalamus, yang bekerja sesuai dengan data dari lingkungan. Bagi mereka yang siap bahagia, akan benar-benar merasakan kedekatan dengan penciptaNya. Ah, tetapi kita memang jarang panik saat hati kita sakit sih, ya!

Bahagia dengan cinta

2 Komentar:

  1. mungkin bahagia memang tersembunyi di dalam hati. maka tugas kita adalah mencari kebahagian yang sedang bersembunyi itu..

    BalasHapus