Smiley

10:11:00 AM
0
Sebagai seorang muslim yang memang sejak lahir, barangkali kita tidak pernah melakukan pencarian Tuhan. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Bapak Kita, Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Namun hati kita selalu melintasi raiba, keraguan. Tentang ilmu yang belum sampai kepada kita, yang Allah telah turunkan. Apakah terasa perubahan-perubahan dari hati yang sakit itu? Ketika kita lupa dengan pertemuan kita denganNya, dengan doa yang pernah kita panjatkan dengan terisak.

Penulis sering mengalami naik turun iman itu, karena mungkin memang hati ini belum sembuh benar. Allah telah memberikan sunnahNya kepada setiap orang yang mengaku muslim, cobaan. Maka tidak heran jika kita menjadi begitu dekat denganNya ketika sedang susah. Contoh paling singkat dari fase tersebut adalah saat kita melakukan perjalanan udara atau laut. Melewati bentangan angkasa dan horison yang sangat luas, hingga kita merasa kerdil.

Kita dengan mudah meneriakkan kata takbir saat terjadi turbulent, bukan. Atau ketika badai menerpa perjalanan laut, seketika kita khusyuk berdoa (baca: Kontradiksi). Terkadang lucu juga menyaksikan rekaman kondisi kita pada saat itu, jika bisa. Lihat saja dalam video berikut, mungkin kita tidak jauh beda dengan Sang Aktor Atheis yang menyebutkan kata Tuhan itu. Kita bahkan percaya dengan Allah, namun pengaruh hati yang sakit telah sering mendekatkan kita kepada dunia. Membuat lupa.



Penulis pernah dengan mudah melakukan perbaikan ketika sedang jobless, kira-kira awal tahun 2011. Setelah delapan bulan lalu lalang dalam frame jobseeker, nyangkut juga sebagai Managment Trainee di sebuah perusahaan operator kapal nasional. Selama proses pelatihan di Surabaya, juga mudah untuk taat kepada Allah. Karena memang pada dasarnya kehidupan Surabaya cukup kondusif untuk umat muslim. Sayang, di pelabuhan sungai yang sibuk di luar pulau Jawa, dimulai lagi fase sengaja meninggalkan Shalat.

Alasan yang sepele, karena sehabis ngantor langsung ke lapangan badminton untuk menggerakkan badan. Kegiatan yang dilaksanakan dengan melewati waktu Maghrib, dengan kesibukan menggoyangkan raket. Mencari keringat sekaligus api yang membakar. Ironis, beberapa waktu yang lampau begitu dekat denganNya namun kini mudah sekali tergelincir. Karena tidak enak dengan kawan sekantor, juga karena memang mau, ya. Telah lupa dengan begitu lancar.

Perjuangan untuk kembali dan masalah-masalah yang menghampiri kemudian memaksa penulis untuk melepas semua itu. Keluarga, yang dijadikan batu sandungan Allah dalam mengingatkan. Penulis disungkurkan kembali di Surabaya, begitu dekat dengan tempat sujud. Apalagi dengan kajian-kajian keagamaan, begitu antusias seolah sedang asyik karaoke saja. Merasa sangat tentram, dan mampu memanjatkan doa-doa harapan untuk masa depan.

Ah, tetapi semua itu juga kembali teraduk. Saat memutuskan untuk kembali ke Samarinda, berjuang di jalanan dan menghitam. Pada dasarnya sangat dekat dengan Allah, karena selalu pintakan sale. Maklum sebagai sales jualan adalah wajib, bukan pekerja sosial. Demikian sindiran yang selalu disampaikan oleh pimpinan. Tetapi jalanan melakukan twist yang hebat, hingga mungkin hari ini khusyuk namun serta merta lusa sudah meninggalkan shalat. Kejamnya jalanan, bagi hati yang sakit.

Kita pada hakikatnya sedang tertawan dunia. Mungkin kita selalu memperbaiki niat, ingin menyempurnakan agama ketika menikah. Tetapi setelah semua berjalan dengan indah, dan anak-anak telah pandai bergaul, kita sudah separuh jalan lagi ke dalam kegelapan. Meninggalkan Tuhan untuk alasan ekonomi. Kita mungkin sering menyarankan kepada lajang untuk segera menikah, dengan nada yang kurang baik. Tidak tahukah kita, siapa yang mendampingi anak-anak kita di mushola atau masjid? (curcol lajang yang kadang terganggu keriuhan mereka di mushola. hehe.)

Anak-anak yang diharapkan keshalehannya belajar kepada orang tua atau bujang yang rajin mengunjungi rumah Allah. Sementara karena kita tertawan oleh dunia, masih sibuk dengan pekerjaan hingga waktu telah habis. Mungkin tinggal satu menit, dan kita kejar dengan kesetanan. Karena pada dasarnya jiwa sangat butuh kepada Allah. Waktu shalat, adalah istirahat jiwa yang sejati. Kita, tertawan oleh semua itu dengan kadar masing-masing. Dan menganggapnya sebagai kunci kebahagiaan, padahal semu. Dan siklus akan terus berulang selama kita tidak tertambat dalam kemerdekaan. Merdeka dari penyakit hati, atau juga bisa disebut penyakit jantung.  

Cepat Sembuh Hati

0 Komentar:

Posting Komentar