Smiley

1:00:00 PM
0


Guru, memang dapat menjadi mesin waktu paling hebat. Untuk kembali kepada masa kecil, dulu kita. Karena memang mereka lah yang bertugas mengalahkan liarnya kita yang kelebihan tenaga. Kembali ke masa tingkat tiga sekolah dasar. Saat sudah mulai main kaca rautan untuk mengintip, atau menjatuhkan pensil. Saat seolah lapangan luas tidak pernah cukup menampung gerakan atletik kita. Ada saja kenakalan kita yang masih tersisa ketika masuk kelas.

Bu Arti, demikian kami memanggilnya. Nama yang penuh arti memang, guru matematika yang entah berapa kali mematahkan penggaris kayu sekolahan. Juga pendaur ulang saingan kami terhadap setiap potongan sisa kapur tulis, mengubahnya menjadi senjata mematikan. Dan tentu saja buliran kapur yang menempel pada penghapus, menjadi kekuasaanya ketika di dalam kelas. Tipe guru pengajar yang keras, namun masih memancing kami untuk iseng karena bosan.

Mungkin ada banyak model guru keras pada era 90-an, tidak seperti masa sekarang, ya. Ketika murid-murid bisa mengadukan guru mereka kepada bapak Hakim. Jika kami dulu berada di era sekarang, mungkin setiap hari kami akan demo turun ke jalan. Atas cara yang diterpkan oleh Bu Arti, dalam mengayunkan penggaris kayu. Dulu, kami tidak bisa merekamnya kemudian upload di youtube. Atau mendapat kesempatan untuk wawancara bersama para wartawan dan masuk tipi, ah.

Terbang ka masa tingkat dua sekolah menengah atas, guru matematika juga. Yang mengajar dengan metode keras. Ketika putih abu-abu di Surabaya bergaya Suzuran masih berjaya. Ketika topi-topi keliling tiap kelas untuk sumbangan teler atau sekedar rokok. Masa-masa berjaya daerah Jagir dalam peredaran narkoba. Bukan generasi silent seperti sekarang yang masih tetap rawan. Bu Sistin, begitu biasa dipanggil, tidak akan membiarkan satu suara pun yang mengganggu selama kelas berlangsung. Atau potongan kapur tulis yang dipatahkan secara rahasia tiba-tiba melayang tepat di wajah.

Konon ceritanya, ketika beliau mengajar di kelas para berandalan. Dibawanya sebotol miras, dan lantang mengatakan tidak akan campur tangan. Tetapi selama dalam kelas, kelas adalah ''milik saya.'' Jadi tidak pernah ada gerakan atau perbincangan yang tidak perlu boleh ada selama kelas berlangsung. Konsekuensinya pun logis, yang tidak mampu bertahan diam di kelas selama 2 jam mata pelajaran dengan senang hati atau terpaksa harus tinggalkan kelas. Dan pengaruh kepada nilai yang tidak pernah bisa dibayangkan. Entah sekarang, apakah beliau masih mengajar dan ikut manggung dalam pentas band. Hehehe ...

Tidak bisa memang dipisahkan kehidupan kita dengan para guru. Karena hampir 7 jam sehari berinteraksi dengan sekolah. Kadang, kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka daripada dengan orang tua. Rekaman masa lalu yang keras itu juga masih tajam, ketika era 2000-an. Tidak banyak dari siswa-siswa di sekolah kami yang terlihat bahagia dengan orang tua mereka di rumah. Guru, perangkat sekolah, dan kawan-kawan sendiri yang sering menjadi pelampiasan.

Mereka, guru-guru yang berjuang dengan keunikan mereka masing-masing, dan akan selalu dikenang. Memang perjalanan waktu selama sekolah tidaklah lama. Berpindah dari satu tingkat, satu sekolah, ke pemberhentian selanjutnya. Bagian yang harus menjadi sejarah kita. Kadang kita kalah, kadang kita menang. Tetapi tidak semua hal harus dipahami sebagai kalah-menang. Karena kemenangan sesungguhnya, tidak pernah nyata di dunia.


0 Komentar:

Posting Komentar