Smiley

4:56:00 AM
0
Pemimpin generasi ketiga dari masyarakat kontemporer Tiongkok telah melabrak apa yang dianggap tabu, “Menjadi kaya itu mulia.” Berani memikul tanggung jawab atas tetesan darah ‘pro demokrasi’ yang berkeras menguasai Lapangan Tiananmen. “Stabilitas lebih penting daripada segala-galanya,” adalah kebijakan politik tanpa tawar sebagai konsekuensi penerapan ekonomi kapitalis. Dunia masih mengenangnya, namun rakyat telah memaafkan negaranya.
Ketika Jiang Zemin, berhasil merangkul dunia kembali, benarlah apa yang diharapkan Deng Xiaoping, “ekonomi tinggal landas.” Tirai Bambu telah terbuka, secara penuh dalam bidang ekonomi dan sektor pendukungnya. Terutama sukses besarnya meraih dukungan dari China Overseas yang setia kepada negara. Maka tiba-tiba, Naga yang telah lama tidur menggeliat. Gedung-gedung pencakar langit menghiasi landscape seluruh negeri. Kemakmuran pun melenggang naik dalam semua grafik data statistik ekonomi.
Era baru masyarakat Tiongkok telah banyak mewarnai dunia, menyeberang juga sampai ke Indonesia. Dalam pameran Mining Indonesia 2013, terdaftar 60-an perusahaan asal Tiongkok dalam direktori perusahaan. Secara awam pun, orang Indonesia sudah terbiasa berjualan tusuk gigi made in China. Jika saat ini bisa disebut Zaman Meme, tiongkok pun telah juga terekam. Dalam cincin “the precious” yang terkenal itu.
Made in China

Seperti umumnya sistem ekonomi kapitalis, lahir pula di balik Tembok Raksasa itu kaum borjuis. Generasi kaya mendadak ala tiongkok yang dikenal dengan sebutan kaum Fuerdai. Mereka piawai dalam memainkan sulap tanpa trik, “membakar uang.” Uang asli yang menghijaukan mata mereka sulut dengan api kesenangan. Orang kaya baru, atau lebih tepatnya Anak orang kaya baru.
Statistik yang ditulis oleh intisari-online.com menyebutkan tidak kurang dari 1,09 juta orang kaya dengan nilai minimal 10 juta Yuan ada di Tiongkok saat ini. Dan 60-an ribu diantaranya adalah keluarga super makmur dengan kekayaan di atas 100 juta Yuan. Sekitar 217 Milliar rupiah. Tiongkok yang keras dalam ideologi pun tidak mampu menghindar dari kesenjangan sosial. Fuerdai sering berulah dengan kontroversi tampil mewah, bahkan merambah dalam hal tabu semacam pesta seks.
Beberapa penulis menangkap fenomena tersebut sebagai akibat kehidupan mereka yang kesepian di masa kecil. Seperti ditulis intisari-online.com, mereka bersikap sombong dan tidak mengindahkan dari mana asal kekayaan mereka. Hal ini tampak pada sikap fuerdai yang mewarisi kekayaan orang tua mereka dari hasil perilaku korup, “apakah itu menjadi masalah?”
Gaya hidup hedonistik ini telah menjadi perhatian Presiden Tiongkok, dengan program uniknya. Sebanyak 70 orang anak miliarder ‘ditangkap’ dan dipenjarakan dalam sebuah kamp bisnis di Provinsi Fujian. “Mereka harus terpikir tentang asal kekayaan mereka,” demikian Xi Jinping menekankan. Denda minimal 2M akan dikenakan bagi siapapun yang menolak program itu, agar kaum fuerdai, “menjadi patriotik yang taat hukum dan bekerja keras.”
Rupanya pemerintah Tiongkok tidak ingin potensi-potensi muda tersebut sia-sia dalam kebingungan mereka terhadap ledakan kemakmuran. Dalam kamp tersebut, mereka diajarkan tentang kebudayaan Tiongkok, tanggung jawab sosial, dan pengetahuan bisnis. Ada harapan dari masa depan mereka yang terarah, seperti manfaat besar yang telah diperoleh dari taipan China Overseas dalam menyumbang devisa dan modal.
Alhasil, kaya mendadak ala negeri panda kini menemukan value-nya. Kecemburuan sosial yang dapat menyuburkan bibit ketegangan sedang diatasi dengan sungguh-sungguh. Fuerdai muda diubah agar menjadi harapan baru dalam perkembangan ekonomi. Mereka boleh kaya, namun kerja keras adalah budaya leluhur. Ikrar sosialisme yang bergema di gerbang Tiananmen adalah cita-cita bangsa yang harus ditanamkan dalam benak mereka.
Ternyata, menjadi kaya di negeri Panda tidak mudah juga, ya. Tidak ada kata malas dan berleha-leha, apalagi seenak sendiri menabrak hukum. Menerobos jalur busway, berkendara melawan arus, ngebut tanpa nopol, atau mengancam pegawai tol yang tidak mendahulukan dirinya. Ah, sepertinya yang sedikit di akhir cerita ini begitu kuat terekam dalam memori kita. Apakah itu terjadi di negeri Pancasila ini? Mungkin.

Sumber.
  1. Intisari-online.com
  2. The Best of Chinese Heroic Leaders, Leman Yap, Gramedia Pustaka Utama, 2009

0 Komentar:

Posting Komentar